Jumat, 08 Maret 2013

Atasi Bentrok TNI-Polri




Tampaknya masih terbungkus kuat faktor-faktor laten yang membuat hubungan TNI – Polri terus saja panas-dingin. Bentrokan antara TNI Vs Polri yang terjadi di Ogan Kumering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, Kamis (7/3) pekan ini, hanyalah puncak gunung es dari berbagai persoalan yang terjadi dalam hubungan antara dua institusi bersenjata ini.

Sayangnya, setiap kali terjadi bentrokan antarpersonel dari dua institusi ini, alasanalasan sepelelah yang kerap muncul, seperti kenakalan prajurit di lapangan, luapan emosi, senggolan antara personel, hingga rebutan pacar. Akar persoalan dari hubungan TNI-Polri selalu luput dari perhatian. 

Itulah makanya konflik TNI-Polri tak pernah terselesaikan secara tuntas. Kejadian pun selalu saja berulang. Lihat saja, sejak dua institusi ini berpisah pada 1 April 1999 — sesuai amanat reformasi — kemesraan antara keduanya malah semakin sering terganggu. Anggota Polri-TNI yang bertugas di lapangan banyak kali terlibat bentrokan. 

Catatan Indonesia Police Watch (IPW) menyebutkan, sejak 2007 sampai dengan saat ini, setidaknya telah terjadi 17 peristiwa bentrokan. Rinciannya: pada 2007 terjadi 3 peristiwa, 2008 terjadi 2 peristiwa, 2009 terjadi 4 peristiwa, 2010 terjadi 6 peristiwa, 2011 terjadi 1 peristiwa, April 2012 terjadi 1 pe-ristiwa. 

Melihat angka-angka di atas, maka sudah selayaknya kita tidak boleh lagi memandang sebelah mata hubungan yang tak harmonis antara dua lembaga ini. Apalagi TNI dan Polri mempunyai tugas dan tanggung jawab besar, yakni masing-masing sebagai penjaga negara dan penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Apa jadinya jika kedua institusi pengawal/penjaga negara dan pengayom masyarakat ini justru terlibat saling sikut dengan menggunakan senjata yang dibeli dari uang rakyat? Ini tentu sangat berbahaya bagi masyarakat.

Karena itulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pimpinan Polri, dan pimpinan TNI harus segera mengambil langkah-langkah solutif yang lebih holistik dan komprehensif untuk mengakhiri bentrok personel yang merusak citra kelembagaan ini. Insiden pembakaran Mapolres OKU, Sumsel, dan berbagai kasus sikut-sikutan antara personal TNI dan Polri selama ini, jangan hanya dipandang sebagai akibat emosi sesaat, tapi ini sebuah sinyal nyata tentang adanya ketidakberesan dalam hubungan strukturalinstitusional antara kedua lembaga ini.

Kalau hanya karena masalah dendam pribadi, emosi sesaat atau rebutan pacar, jajaran pimpinan kedua instititusi ini bisa menyelesaikannya dengan mengesampingkan ego masing-masing-masing. Tapi, bila persoalan antara TNI dan Polri menyangkut masalah struktural-institusional, penataan ulang atas peran keduanya harus menjadi perhatian utama. Di sini, semua pihak harus mendorong dan mengembalikan TNI dan Polri ke fungsi sebenarnya, yakni sebagai aparat bersenjata yang dibiayai rakyat dengan tugas melindungi serta mengayomi rakyat.

Dalam menjalankan fungsinya itu, TNI dan Polri juga terikat erat dengan tugas-tugas penegakan hukum. Karena itu, dalam hal pelanggaran lalu lintas, misalnya, yang sering menjadi pemicu bentrok antara personel TNIPolri, kedua institusi ini harus saling mendukung. Tak boleh ada yang merasa superior. Institusi TNI tak boleh merasa dirinya punya power untuk melawan hukum.

Sebaliknya, sebagai lembaga penegak hukum, Polri juga harus tegas dan tak diskriminatif dalam menegakkan peraturan/hukum yang berlaku. Kalau ada anggota Polri yang terlibat kasus hukum, yang bersangkutan harus tetap diproses secara hukum. Kasus penyerangan dan pembakaran Mapolres OKU sejatinya bersumber dari tumpukan ketidakpercayaan pada proses penegakan hukum yang akhirnya pecah dalam bentuk aksi. Kita berharap kasus OKU menjadi pelajaran berharga bagi jajaran TNI dan Polri.

Dalam kasus seperti itu, hukum harus menjadi panglima, dan personel TNI-Polri tunduk pada hukum, siapa pun dan apa pun jabatan yang disandangnya. Dalam hal penegakan hukum, TNI dan Polri harus memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. 

Selain terkait penerapan hukum di lapangan, bentrokan TNI-Polri juga sering dipicu oleh faktor kesejahteraan. Sungguh sebuah fakta menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan pendapatan (kesejahteraan) antara TNI dan Polri. Makanya ada satire yang sering kita dengar bahwa sekarang ini, “TNI penuh dengan tantangan dan Polri penuh dengan tentengan”. Ini memang keadaan yang nyata di lapangan. 

Pemerintah jangan menutup mata dan harus segera mencari solusi atas gap psikologis antara TNI dan Polri saat ini. Kebijakan negara memisahkan Polri dari TNI, serta menyerahkan sepenuhnya kewenangan keamanan dalam negeri kepada Polri, telah menimbulkan kecemburuan psikologis TNI. Hal itu masih ditambah lagi dengan adanya aturan larangan berbisnis bagi institusi TNI yang semakin menambahkan kecemburuan ekonomi, karena telah menutup peluang akses ekonomi petinggi- petinggi dan oknum TNI lainnya.

Sebaliknya, anggota Polri, meskipun tidak seluruhnya, tingkat ekonominya lebih sejahtera ketimbang prajurit TNI. Faktor-faktor laten seperti itulah yang membuat konflik antara oknum-oknum TNI dan Polri mudah tersulut, meski karena masalah sepele. Oleh karena itu, pemerintah harus berani meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI secara maksimal sehingga setara dengan anggota Polri. Remunerasi dan fasilitas hidup yang baik adalah jawaban atas masalah itu. Tanpa adanya peningkatan kesejahteraan prajurit TNI, sulit terhindarkan akan ada lagi bentrok antara TNI-Polri di masa mendatang. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar